Anak Belajar, Keluarga Terlibat
sumber gambar: https://www.shutterstock.com |
Dunia sangatlah
keras. Banyak tuntutan untuk menjadi yang terbaik, menjadi yang nomor satu. Siapkah
sang anak menghadapinya nanti? Mari kita berfikir sejenak. Setiap anak memiliki
kemampuan dan keterampilan yang berbeda. Pemikiran, kesukaan, bakat, minat yang
pasti juga berbeda-beda. Disini, sekolah bisa menjadi wadah dimana kecerdasan,
bakat, dan minat anak tersalurkan. Sekolah juga disebut-sebut sebagai tempat
penyelenggaraan pendidikan formal yang bertujuan untuk mempersiapkan masa depan
anak. Realitanya, sekolah tidak menentukan kesuksesan masa depan anak. Sekolah
tidak menjamin sang anak akan siap menghadapi dunia luar nantinya. Maka dari
itu, keluarga juga harus mengambil peranan penting dalam hal menyukseskan
penyelenggaraan pendidikan bagi anak karena tanggung jawab tidak boleh hanya
dibebankan kepada pihak sekolah.
Pemikiran kolot
saat ini adalah urusan pendidikan anak biarlah sekolah yang menangani, orang
tua tidak perlu ikut campur. Kenyataanya, peran orang tua dalam hal pendidikan
anak sangatlah besar. Sekolah harus
dapat melibatkan orang tua dalam program-program
sekolah. Hal ini bisa dilakukan dengan melibatkan orang tua dalam komite, mengundang hadirkan orang tua pada
acara-acara khusus, serta
melakukan kunjungan untuk
bisa berdialog dengan orang tua membahas permasalahan anak. Dengan demikian, anak-anak akan memiliki hasil akademis dan sosial yang lebih baik
saat orang tua terlibat aktif dalam pendidikan dan aktivitas anak mereka di sekolah.
Perlu kita
sadari, anak sudah hidup di zaman kekinian, dimana teknologi sudah berkembang
dengan pesat. Kemajuan teknologi di era globalisasi saat ini menjadi bagian
dari fenomena yang mempengaruhi tumbuh kembang anak. Misalnya saja dalam hal pendidikan,
para guru sudah mengaplikasikan penggunaan internet sebagai sumber belajar bagi
sang anak. Bahkan untuk berinteraksi sosial, sang anak sudah semakin dimudahkan
dengan adanya berbagai macam media sosial untuk jembatan interaksi komunikasi untuk
sesama. Selain itu, segala macam informasi juga mudah didapatkan dengan cara
mengakses internet. Zaman kekinian saat ini benar-benar tidak memiliki batasan
jarak sejauh mana sang anak ingin mengeksplor dunia melalui internet.
Namun, teknologi
yang diciptakan untuk mempermudah kehidupan manusia dapat menjadi alat
penghacur yang luar biasa layaknya pedang bermata dua. Karna internet pulalah banyak
dampak negatif yang bisa menimpa sang anak seperti kasus pornografi, perjudian,
kekerasan, penipuan, perundungan, dan lain sebagainya. Saat inipun banyak
beredar tantangan-tantangan (challenge) di
media sosial agar anak melakukan sesuatu yang dianggap keren dimana skip challenge adalah
salah satunya. Tantangan tersebut dilakukan dengan
menekan dada sekencang-kencangnya hingga pelaku pingsan. Namun, anak-anak
justru menganggap hal itu keren, menantang, kekinian, dan tidak ketinggalan
jaman. Fatalnya, skip challenge bisa menyebabkan
kematian dan itu yang tidak disadari oleh anak-anak. Memberikan pengertian akan
bahaya penyalahgunaan internet, memberikan pendampingan dan pemantauan kegiatan
berselancar di dunia maya merupakan hal yang tidak bisa ditawar lagi. Hal ini
bertujuan untuk meminimalisir resiko dampak negatif yang nantinya bisa menimpa sang
anak.
Pengawasan anak
terhadap bahaya penyalahgunaan teknologi informasi haruslah berjalan. Perlu
diingat bahwa secara rutin, anak menghabiskan waktunya di sekolah dan di rumah.
Saat di sekolah, pengawasan dan pendampingan tentu menjadi tanggung jawab guru.
Bagaimana saat dirumah? Maka, disinilah keluarga bisa mengambil peranan
penting. Di luar aktivitas penyelenggaraan pendidikan formal bagi sang anak,
orang tua bisa mengambil beberapa peran layaknya dalam aktivitas sekolah. Seperti
halnya di sekolah, orang tua harus mampu berperan sebagai pengawas, guru, dan, sahabat
bagi sang anak.
Seorang
pengawas memiliki tugas memantau, mengawasi dan menegur saat anak melakukan
sesuatu yang dianggap salah. Bukan menghakimi bahkan menyalahkan, tapi harus
membenarkan. Membenarkan bisa diartikan meluruskan. Dengan kata lain, jika anak
melakukan kesalahan, maka orang tua harus memperbaiki bagaimana hal itu harusnya
dilakukan. Zaman sudah berbeda, memarahi anak justru akan membuat sang anak
membenci kita. Melarangnya hanya akan membuat anak semakin ingin melakukannya. Sebenarnya
yang diperlukan hanyalah memberi pengertian. Sang anak perlu diberikan pengertian
akan dampak apa yang akan mereka dapatkan jika hanya mengakses dan menggunakan
informasi yang mereka dapatkan tanpa adanya pemahaman dan evaluasi terhadap
informasi tersebut. Hal ini melatih anak untuk mampu berfikir kritis. Anak
harus belajar dari pengalaman sehingga nantinya mampu memecahkan masalahnya
sendiri. Sehingga nanti, saat sang anak sudah tidak dalam pengawasan guru
maupun orang tua, kita akan tau bahwa sang anak akan baik-baik saja dengan
teknologi informasi di genggamannya.
Sebagai sosok guru,
maka peran orang tua adalah sebagai contoh dan panutan bagi anak. Seperti
halnya peribahasa yang mengatakan bahwa “buah jatuh tak jauh dari pohonnya”.
Peribahasa ini menggambarkan realita bahwa sifat dan perilaku anak tidak jauh
berbeda dengan orangtuanya. Cukuplah peribahasa tersebut menjadi patokan bagi
keluarga untuk turut serta dalam hal mendidik anak. Keluarga memiliki kemampuan
menumbuhkan sosok anak seperti apa yang ingin mereka tumbuhkan nantinya.
Layaknya bibit tanaman yang harus rajin disiram, dipupuk dan dirawat untuk
tumbuh subur dan menghasilkan buah yang rimbun. Perlu diingat bahwa anak sedang dalam proses belajar sehingga pendampingan yang intensif perlu dilakukan seperti halnya poin di artikel yang berjudul "Anak: Ilmu Pengetahuan yang Terus Bergerak" yang terdapat di laman
sahabatkeluarga.kemdikbud.go.id. Selain itu, anak akan
meniru apa yang mereka lihat. Maka, keluarga perlu memberikan contoh yang baik
bagi anak dalam hal pemanfatan teknologi.
Sosok seorang sahabat
bagi anak juga bisa diperankan oleh orang tua. Sahabat adalah sosok yang
menemani. Seringkali di era saat ini, teknologi mampu menciptakan kepibadian
anak yang cenderung cuek dan individualis. Anak lebih memilih bermain handphone dibandingkan dengan bermain
dengan anak-anak sebayanya. Sebelum hal itu menjadi suatu hal yang lumrah,
orang tua bisa mencegahnya dengan berperan sebagai sahabat bagi sang anak.
Orang tua perlu mengajak anak bermain, berdialog, melakukan pekerjaan rumah bersama
seperti membereskan kamar, berkebun, dan kegiatan bersama lainnya. Mari
membangun komunikasi yang baik dengan anak. Tanyakan kabar mereka sepulang
sekolah, tanyakan ada PR apa hari ini, tanyakan bagaimana sekolah hari ini.
Dengan komunikasi yang lancar antara orang tua dan anak, maka kemungkinan
karakter cuek dan individualis yang bisa tumbuh pada diri sang anak akan mampu
diminimalisir.
Keterlibatan orang
tua dalam penyelenggaraan pendidikan perlu diwujudkan. Program-program sekolah
harus bersinergi dengan keterlibatan orang tua di dalamnya. Tata-tertib sekolah
yang mengharuskan siswa datang tepat waktu untuk mengikuti pelajaran akan
berjalan dengan baik jika orang tua ikut bekerjasama menyukseskannya dengan
cara membangunkan anak lebih awal agar tidak terlambat hadir di sekolah. Contoh
lainnya adalah orang tua turut memantau pekerjaan rumah yang diberikan oleh
guru. Hal ini bisa dilakukan dengan bertanya apakah ada pekerjaan rumah yang
harus diselesaikan? Apakah ada tugas yang harus dikumpulkan? Apakah ada ulangan
besok? Dengan demikian, tidak akan ada alasan lupa mengerjakan pekerjaan rumah
dan tidak akan ada alasan lupa jika besok akan diadakan ulangan. Keterlibatan
orang tua dalam hal pendidikan akan sangat membantu kesuksesan belajar anak di
sekolah.
#sahabatkeluarga